KRUSIALITAS DALAM PENELITIAN ANTROPOLOGI

Oleh Prof.Dr. Marzani Anwar

Penelitian antropologi adalah penelitian yang melibatkan manusia peneliti secara utuh di lapangan. Ke lapangan di samping berbekal konsep, seorang peneliti juga membekali diri dengan sikap mental, ketrampilan berkomunikasi, ketrampilan menyesuaikan diri dengan budaya setempat, kesiapanmemutuskan sesuatu dengan cara yang tepat dalam menggapai data merupakan keunikan tersendiri. Belantara sasaran penelitian, adalah ragam keunikan dan sekaligus tantangan. Di antara tantangan itu ada yang sifatnya mikro, yakni ada pada diri peneliti sendiri, dan yang bersifat makro adalah kondisi di luar dirinya, yang ikut mempengaruhi cara kerja penelitian.

Dimaksud isu praktis dalam metodologi penelitian, adalah masalah-masalah yang secara praktis dihadapi dalam penelitian etnografi. Karena kerja penelitian adalah sebuah proses panjang, yang dimulai sejak seseorang peneliti memusatkan perhatian pada sebuah tema penelitian. Tahapan yang dilalui neliputi: perumusan masalah secara benar, mengangkat permasalahan penelitian secara meyakinkan, menguraikan metodologi, signifikansi, dan bila perlu membuat hipotesa kerja. Dalam membuat rencana lapangan, dituntut kejelasan dalam konsep, penetapan teknik-teknik pengumpulan data sesuai dengan kondisi lapangan, menghimpun data dan bagaimana data akan dianalisis. Kerja ini merupakan rangkaian yang tidak terpisahkan antara aspek teoritas dan metodologi. Apa yang dimaksud dengan masalah paktis pun tidak sederhana. Karena pada dasarnya menyangkut semua pentahapan ker peneltian tersebut.

Masalah praktis yang di uraikan dalam makalah ini, dibatasi dalam masalah berkenaan dengan pengalaman seseorang peneliti selama proses pengumpulan data:
1. Apa yang dilakukan seorang peneliti ketika menghadapi situasi yang berbeda dari yang diperkirikan semula, sebagaimana tertulis dalam rencana kerja.
2. Apa yang dilakukan peneliti, ketika mengalami kesulitan berkomunikasi dengan agency.
3. Apa yang dilakukan peneliti, ketika membangun rapport.
4. Tantangan apa saja yang dihadapi seseorang penelitian di lapangan, dan apa tindakan akselerasinya.
5. Apa yang dilakukan seseorang peneliti, ketika menghadapi suatu hal baru, namun tidak secara langsung berhubungan dengan fokus penelitiannya.
6. Adakah kesulitan-kesulitan dalam prosedural penelitian, dan bagaimana cara menyelesaikannya.
Untuk memperoleh informasi mengenai masalah-masalah tersebut, kami mencoba melakukan kajian atas karya-karya etnografi yang terbit dalam bentuk buku, serta makalah hasil refleksi para etnografer yang dimuat pada Jurna-Jurnal Social Science, dan makalah dari situs website. Arti penting dengan mengungkap beragam isu praktis seperti itu adalah:
1. Memberikan sumbangan bagi para etnografer untuk pengembangan metodologi penelitan.
2. Semakin banyak masalah yang dijadikan bahan pertimbangan, akan semakin matang bagi seseorang dalam merancang kerja penelitian lapangan.
3. Mengungkap sebanyak mungkin isu praktis metodologi penelitian, akan memperkaya pengembangan teknik dan metode pengumpulan data dalam penelitian etnografi.
4. Isu praktis yang bersifat teknis, akan juga memberikan kontribusi bagi institusi yang mengelola kegiatan penelitian.

Berikut ini dipaparkan ragam isu praktis yang ditemui atau dialami oleh para antropolog dalam melaksanakan kerja penelitiannya, sejauh yang bisa saya rekam. Apakah saya berhasil dalam memaparkan atau mengkategorisasi bahwa sesuatu itu sebagai isu praktis dalam metodologi antropologi, itu soal lain. Karena penentuan bahsa sesuatu itu adalah “isues” atau tidak, atau apakah sesuatu itu termasuk dalam “practical issues” atau “teoritical issues” ini adalah persoalan rumit dan banyak dipengaruhi unsur subyektivitas saya. Persoalan berikut adalah: masih relevankah apa yang saya paparkan dalam makalah ini dengan perkembangan antropologi dewasa ini, semua memang tidak lepas, sekali lagi, dari ranah subyektivitas.

1. Masalah Bahasa dan Komplikasi Pengertian.
Johnnetta B. Cole (1982), Anthropology for the Eighties, The Free Press, New York. Di bawah tulisan berjudul “The Practice and Ethics of Fieldwork” mengawali tulisan dalam buku tersebutm membahas tulisan Paul Bohannan (1963), Social Antropology, New York Holt, Rinehart & Winston. Dengan uraiannya itu seakan Johnetta ingin menarik benang merah, antara antropologi periode 60an dengan antropologi 80an.
Seorang antropolog, menurutnya, tidak begitu saja “go to the field”, dengan berbekal pengetahuan awal, atau petunjuk key informan. Ada nilai-nilai, sikap hidup dan perilaku yang harus di”masuki” dengan bijak.

Persoalan bahasa menjadi sangat penting bagi seorang antropolog ketika berhadapan dengan masalah penterjemahan beberapa istilah atau ungkapan-ungkapan. Setiap hari ia dikelilingi oleh ekspresi dan konsep-konsep kultural, yang bagi si antropolog adalah baru atau asing. Sejak sebelum ia ke lapangan ia harus mempelajari bahasa masyarakat. Suatu saat bisa terajdi, suatu istilah “x”, dalam bahasa lokal, diterjamahkan menjadi istilah “y’ seakan menjadi bahasa antropolog.
“Kesalahpahaman itu menjadi semakin sempurna tatkala peradaban orang lain dilihat dengan kacamata peradabannya sendiri”. Itu yang terjadi pada bangsa-bangs akolonial, yang melihat “ budaya orang-orang pribumi” seakan merupakan realitas yang menjadi absah dianalisis dengan konsep Barat, dan hal itu boleh jadi pelengkap keganjilan bangsa Barat.

Sayangnya, para antropolog masih sering membuat kesalahan ketika memberikan penjelasan dengan menggunakan konsepnya sendiri untuk menjelaskan kebudayaan orang lain. Solusi penting atas problem penterjemahan ini, menurut Cole, pertama dengan mengenal problem dan latihan ketat memelihara hubungan baik (komunikatif) dengan realitas budaya yang ditelitinya. Menterjemahkan dengan menggunakan bahasa asing untuk diusung ke dalam bahasa kultur tersebut. Kedua, ketika seorang antropolog, memperoleh informasi dari konsep-konsep dan realitas budaya masyarakat tersebut, jauh-jauh hari ia perlu membangun sensifitas pada istilah-istilah tertentu sehingga familiar.

Ketika antropolog melakukan studi di negeri sendiri menggunakan sebuah bahasa real, bahasa asli kebudayaan si antropolog, bukan berarti tidak ada masalah dalam masalah penterjemahan. Hanyasaja masalahnya agak berbeda. Adalah seperti pada semua penelitian sosial, issu tentang bagaimana menterjemahkan secara benar “apa kata si empunya bangsa” ke dalam analisis istilah, itu dilakukan ketika membangun teori-teori dan konsep. Maka ketika antropolog mempelajari budayanya sendiri dan dengan penuh percaya diri dengan bahasa sendiri, itu hanya bisa berhasil menterjemahkan selagi menggunakan bahasa yang benar-benar komunikatif. Satu potensi menguji alasan ini tentu saja bahwa kultur asli si antropolog memiliki peluang untuk membaca dengan jelas tentang apa-apa yang ditulis tentang mereka.

Persoalan bahasa memang tidak hanya persoalan kata, tetapi adalah persoalan simbol dan budaya. Sebuah teori mengenai interaksi simbolis menyatakan bahwa simbol adalah gejala, yang akan membawa kepada pemaknaan-pemaknaan. “Kekhasan dalam interaksi simbolis adalah fakta bahwa dalam kehidupan antar manusia, lebih banyak menginterpretasi satu sama lain daripada berintekasi satu sama lainnya. Respon mereka tidak terjadi secara langsung kepada tindakan satu dengan lainnya tetapi bahkan didasarkan pada pemaknaan atas sentuhan kepada tindakan tersebut. Interaksi manusia dalam hal ini dimediasi oleh simbol-simbol, yang dalam hal in termasuk bahasa, yang kemudian diinterpretasi atau diberikan makna oleh orang lain. Mediasi ini sama artinya dengan memasukkan sebuah proses interpretasi antara simbol dan tujuan dalam kasus perilaku manusia. ( lihat: Blumer, 1969: 79).
Dalam salah satu premis mengenai interaksi simbolik dikatakan, bahwa terjadinya pemaknaan atas simbol adalah ketika arti dari sesuatu tanda itu diambil atau terpelihara dalam bangunan interaksi sosial yang dilakukan orang seorang dan diikuti orang lain. Sementara kebudayaan adalah seperti sebuah bagian dari sistem makna, yang dipelajari, direvisi, dipelihara, dan didefinisikan dalam konteks interaksi warga masyarakat. (lihat: Spreadly, 1990: 28).

2. Independensi Peneliti vs. Kepentingan Politik
Dalam melakukan penelitian terhadap suatu masyarakat, tidak selamanya seorang antropolog terbebas dari kepentingan politik. Tidak sedikit juga yang justru bekerjasama dengan pemerintah tertentu. Karena karya antropologi bagi pemerintah yang berkepentingan memberikan manfaat secara politik. Malinowski (1929) sebagaimna dikutip Kolttak , menyebutnya sebagai “practical anthropology” untuk menjelaskan mengenai adanya antropolog yang bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Ini terjadi misalnya dengan pemerintah Inggris dengan politik appartheidnya di Afrika Selatan, atau Snough Hurgronye ketika bekerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda, sekitar tahun 1870an.

Menurut Malinowski, seorang antropolog dapat mengambil jarak dengan kepentingan politik pemerintahnya. Ia seharusnya bekerja atas nama pandangan politiknya sendiri, yang boleh jadi sejalan dan boleh jadi tidak sejalan dengan politik pemerintahnya. Masalahnya adalah, karena penelitiannya yang ia lakukan memperoleh beaya dari pemerintah yang bersangkutan. Tentulah pemerintah punya kepentingan. Bagaimanapun, ini soal aplied anthropology, sehingga seorang peneliti secara moral harus memberikan kontribusi bagi tujuan-tujun politik pemerintah.
Dalam konstelasi yang berbeda, peneliti dewasa ini juga tidak jarang melakukan penelitian atas beaya negara. Dan di balik sponsorship adalah kepentingan-kepentingan spesifik dan pragmatis. Seorang peneliti kadang harus pandai-pandai menterjemahkan bahasa politik. Ada target-target politik pada pemerintah yang perlu dibaca baik-baik. Termasuk target politik adalah kepentingan keamanan negara, atau kepentingan status quo, dan sebagainya. Ketika hasil penelitiannya dipandang memberikan kontribusi pada pencapaian tujuan politik tersebut, biasanya ia memperoleh grand, dan berikutnya mendapat kepercayaan lebih banyak. Sebaliknya bila hasil penelitiannya kurang memenuhi capaian politik, maka menurunkan kepercayaan di mata pemerintah.
Masalahnya, adalah: bagaimana dengan pandangan politik si peneliti sendiri, dan seberapa besar sumbangannya dan dalam bentuk apa hasil penelitian itu menjadi sumbangan kepada masyarakat dalam arti seluas-luasnya, termasuk dunia ilmu pengetahuan.

3. Menghadapi masalah inkonsistensi informan.
John Middleton (1982) dengan tulisannya “The End of Fieldwork, dalam Johnnetta B. Cole Anthropology for the Eighties, The Free Press, New York, mengurai pengalaman penelitiannya selama 2 tahun di Ligbalarand, bagian selatan Uganda. Ia merasakan betapa bedanya dengan penelitian sosilogi, penelitian ekonomi, pendidikan, sejarah, teknik, dan sebagainya. Dalam penelitian antrologi memerlukan full participant, menyatukan kehidupannya dengan kehidupan masyarakat sasaran penelitian. Sementara masyarakat sebagai tuan rumah, adalah pemilik budaya. Sebagai orang laur yang harus menjadi tamu yang bisa diterima dalam waktu yang lama, ia selalu mencari cara bagaimana harus merekrut pembantu lapangan atau guide di untuk menunjukkan tempat-tempat atau event-event yang dianggap penting. Termasuk bagaimana cara terbaik menghadapi aparat pemerintah setempat. Sebagai peneliti sekaligus tamu, harus pula mengetahui larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban yang harus ditaati para warganya. Middleton menemukan hal-hal paradoks dan ambiguitas (pengertian ganda), serta ketidaktentuan expresi di antara sesama warga. Pada diri seorang individu, kadang terjadi paradox, ketika ia menjelaskan pendapatnya mengenai sesuatu, dan di lain waktu pandangannya itu ia tentang sendiri. Maka peneliti sebaiknya jangan berasumsi-asumsi terhadap fakta-fakta, karena bisa menyesatkan.

Keadaan demikian bisa terjadi pada komunitas lain, terutama komunitas yang warganya terdiri beragam karakter atau beragam asal etnis. Ada kecenderungan untuk terlalu berhati-hati atau kecenderungan memanipulasi pernyataan, karena ingin menjaga hubungan baik dengan tetangga, atau sebaliknya menyampaikan pernyataan berlebihan, justru karena ingin menjatuhkan orang lain yang tidak ia sukai.

Masalah inkonsistensi informan juga dialami oleh Lea Jellinek yang melakukan penelitian pada masyarakat Kebon Kacang, Tanah Abang Jakarta, (1971-1981). Ia mengkisahkan pengalamannya berada di tengah penduduk miskin, untuk mengumpulkan data. Dalam bukunya The Wheel of Fortune, ia mengurai pengalaman tersebut di bagian awal. Ia menyebutnya menulis “sejarah lisan”, dengan apa yang dia lakukan, karena harus melakukan full wawancara dengan informan, karena tidak adanya sumber informasi tertulis mengenai keadaan masyarakat yang dia teliti.

Kebetulan informannya adalah orang Jawa, yang datang ke Jakarta buat mengais rezeki. Obrolan santai memudahkan mereka mengemukakan pandangan-pandangan dan pikiran mengenai dunia mereka sendiri. Namun tidaklah mudah mengajak obrolan, untuk sampai pada informasi yang diinginkan peneliti. Dibutuhkan waktu panjang dan berkali-kali untuk itu. Cara yang ditempuh untuk wawancara dengan orang Jawa adalah bertutur kata lemah-lembut dan tidak langsung. Orang Jawa, katanya, tidak pernah siap menerima pertanyaan-pertanyaan secara langsung. Mempertanyakan secara langsung ke pokok persoalan, bisa mengakibatkan goncangan dan ketakutan dan tak terelakkan lagi akan memberikan tanggapan yang menyesatkan. Ada topik-topik tertentu yang bagi orang Jawa tidak akan menjawab dengan baik, misalnya pertanyaan soal pendapatan, masalah utang, hubungan antar perorangan, dan sikapnya terhadap pemerintah. Kadang peneliti kesulitan menghadapi informan yang sedang curiga dan ketakutan, atau ia sedang sibuk atau malu. Peneliti sempat frustasi, karena memperoleh banyak informasi yang tidak berakaitan satu sama lain. Namun ketika wawancara diformalkan, terasa dibuat-buat, dan suasana menjadi tidak menyenangkan dan sebagian besar tidak produktif. Ada sebagian informal senang dengan kedatangan peneliti, sekalipun menggunakan alat perekam. Sebagian lagi informan merasa tegang karenanya, bahkan ketika peneliti mengeluarkan kertas dan alat tulis saja, mereka merasa diintimidasi. (Jellinek, 1991).

4. Tidak mudahnya membangun Rapport
Penelitian dengan menggunakan dua strtagei pengumpulan data, yakni membagi kuesener dan wawancara mendalam dengan sejumlah informan. Ini yang dilakukan oleh Yulfita Rahardja, ketika melakukan penelitian tentang Wanita Kota Jakarta. Kedua teknik pendekatan sengaja dilakukan untuk saling bisa menutup kelemahan masing-masing.
Karena lapangan perhatiannya, yakni wanita kota Jakarta cukup luas, setidaknya mengikuti stratifikasi sample yang telah ditetapkan sebelumnya, yang antara lain memperhitungkan latarbelakang etnis para wanita yang dijadikan sasaran wawancara. Lingkup penelitian adalah sekitar pandangan para wanita terhadap masalah Keluarga Berencana dan Prilaku Reproduksi.

Koordinator penelitian, hendak mengeleiminir kelemahan dalam berkomunikasi antara pewawancara dengan yang diwawancarai. Salah satu cara yang dianggap jitu, adalah dengan menggunakan teknik obrolan santai. Tapi masalahnya, bagaimana agar kedua pihak bisa berkomunikasi dengan relaks. Wanita kota Jakarta yang menjadi sasaran penelitian ini, adalah para warga Jakarta pendatang yang terdiri dari beragam asal suku bangsa. Meskipun mereka sudah lama tinggal di Jakarta, mereka merasa akrab dengan menggunakan bahasa daerah masing-masing apabila berjumpa dengan orang lian yang belum dikenalnya. Maka para anggota tim pewawancara diambil orang-orang dari berbagai etnis. Bagi wanita asal Manado nantinya diwawancarai oleh pewawancara asal Manado, wanita yang berasal dari Sunda diwawancarai oleh orang Sunda, di samping orang Betawi yang juga perlu diwawancarai oleh petugas asal Betawi, dan seterusnya termasuk dari Jawa, dan Medan. Atas dasar itulah, maka peneliti merekrut sejumlah orang dari etnis yang berbeda satu sama lain, untuk menjadi petugas lapangan,

Sebelum para anggota tim bertugas di lapangan, mereka dilatih tentang teknik-teknik wawancara dengan baik. Namun masalahnya belum selesai, sebab ternyata para anggota tim sendiri banyak yang belum tahu atau belum menguasai masalah yang hendak diajukan dalam wawancara. Padahal prasarat untuk bisa ngobrol santai adalah harus benar-benar menguasai materi obrolan, agar obrolannya terfokus. Maka pelatihan calon pembantu lapangan itu juga memasukkan pengetahuan dan pemahaman atas materi penelitian, sampai benar-benar substansi penelitian terkuasai.
Pembantu lapangan yang diperlukan dalam penelitian, ternyata tidak sekedar menjadi guide selama kerja lapangan. Akan tetapi yang lebih penting adalah menjadi “penterjemah” bahasa dalam arti yang sebenar-benarnya. Mereka dipilih dari kalangan yang satu etnis dimaksudkan agar bisa komunikatif dalam wawancara, dan bisa mengartikan makna-makna ungkapan, mengetahui apa di balik tanda-tanda atau penjelasan atas simbol-simbol yang digunakan informan. Di samping itu, dengan menggunakan satu bahasa antara peneliti dan informan, akan memperkecil kesalahpahaman.

Masalah rapport dan transbuliding ini juga dikemukakan olen Konetjaraingrat (1982), yang mengurai pengalamannya di sekitar Pengamatan Terlibat oleh seorang peneliti Pribumi dan Asing. Sebagai seorang keturunan Jawa, pak Koen (demikian ia biasa dipanggil), pada dasarnya bukan orang asing bagi masyarakat yang ditelitinya. Namun kenyataannya ia tidak berhasil menjadi sahabat baik para petani Jawa. Mereka menempatkan pak keon sebagai seorang terpelajar dari kota, seorang pegawai negeri, alias priyayi, yang harus dihormati. Dalam tradisi pedesaan jawa, memang berlaku penghormatan demikian, sehingga tidak mungkin seorang yang di-priyayikan itu bisa bercengekarama atau guyon bersama para petani. Padahal suasana seperti itu yang dimaui peneliti, agar bisa menangkap secara apa adanya perilaku dan uangkapan-ungkapan mereka. Para petani merasa harus menjaga jarak, harus menjaga sopan santun dan harus bicara “yang baik’baik” kepada priyayi, yang sekaligus dianggap tamu. Keintiman dan kedekatan itu gagal dilakukan oleh pak Koen, karena terlanjur ditempatkan oleh warga pada kedudukan tertentu.

Penelitiannya sendiri dilakukan pada tahun 1958 dan 1959 di desa karanganyar, sekitar 100 km sebelah barat kota Yogyakarta, dan desa Celapar, sebuah utara kota kabupaten Karanganyar, yang dikenal sebagai desa pegunungan yang agak terpencil. Pengumpulan data dimaksudkan oleh peneliti untuk pembuatan suatu diskripsi antropologi mengenai perubahan kebudayaan jawa yang belum banyak dipengarui perkembangan jaman dengan (membandingkan) desa lain yang lebih banyak dipengaruhi perkembangan tersebut. Dalam proses penelitiannya, peneliti tetap berupaya untuk bisa dekat dengan para petani, dan akhirnya agak berhasil berkat pendekatannya kepada beberapa pemuda desa, yang sudah berpendidikan sekolah lanjutan. Melalui cara itu peneliti bisa agak jauh memasuki budaya mereka. Walau tetap diakui, bahwa sampai akhir penelitian, ia masih tetap merasa terjerat oleh penempatannya pada kelompok tertentu oleh warga. (Koentjaraningrat, 1982: 93-94).

5. Menghadapi kejenuhan di lapangan
Melakukan penelitian ethnografi, memang memerlukan waktu yang cukup untuk sempurnya sebuah penelitian. Ia harus tinggal berlama-lama dengan masyarakat sasaran. Seakan menjadi bagian dari mereka, sehingga dalam kehidupan keseharian bergelut bergabung dan bersosialisasi. Sasaran masyarakat primitif atau dalam area yang terpencil dari keramaian, akan menghadapi kejenuhan selama melakukan penelitian ethnografi.
James Danandjaja menuliskan pengalamannnya mengenai hal ini, sebagaimana dimuat dalam: Koentjaraningrat dan Donald K. Emmerson (Editor), (1982) Aspek manusia dalam Penelitian Masyarakat, PT. Gramedia. Ketika ia melakukan penelitian di desa Trunyan, Bali. Masyarakat ini dikenal tidak suka kepada kebersihan, seperti orang kota. Jenis makanan itu-itu saja. Tranportasi dari kota ke desa lumayan susahm apalagi antar desa sekitarnya. Peneliti harus hidup di rumah yang tempat tidurnya banyak kutu busuknya. Ketika kasur dibersihkan, justru menjadi tontonan, seakan ia melawan budaya setempat. Di desa Trunyan, dikenal paling banyak penderita Kustanya di banding daerah lain se provinsi Bali. Kebiasaan mandi dengan sabun dianggap aneh oleh masyarakat. Masyarakat tidak suka membuang sisa makanan termasuk nasi, sehingga si peneliti biasa disuguhi makanan basi. (Dananjaja, 1982: 11). Untuk mengatasi kejenuhan di lapangan itu, ia setiap seminggu sekali pergi ke kota Denpasar.

Problem psikologis yang biasa dihadapi oleh peneliti, ketika ia berada di suatu lokasi yang asing. Ia merasa serba salah ketika akan bertindak. Ada kehawatiran kalau-kalau apa yang dilakukan itu menyalahi budaya setempat. Meski beriktikat baik letikahendak melakukannya, tetapi belum tentu disambut baik oleh masyarakat. Sebaliknya ketika berbuat yang tidak baik, misalnya, ikut berjudi, bisa jadi justru disambut baik oleh masyarakatnya, karena bagi mereka berjudi adalah bagian dari kebiasaan atau tradisinya.

6. Antara Indedependensi dan Keberpihakan Peneliti.
Dr. Erni Budiwanti dalam bukunya Islam Sasak, LkiS, (2000), Yogyakarta. Judul aslinya adalah Religion of The Sasak: An Ethnographic Study of The Sasak: An Anthropologic the impact of Islamization on the Wetu Telu of Lombok. Merupakan tesis Ph D dari Monash University (1997). Selama di lapangan berada di tengah masyarakat desa Bayan, di mana masyarakatnya sebagian berpaham keagamaan Wetu Telu dan sebagian lain berpaham keagaman Wetu Lima. Kelompok Wetu Telu dianggap masih beragama primitif, karena meskipun beragama Islam tetapi tidak mau sembahyang lima kali. Menurut kelompok Wetu Lima, berarti orang Islam Wetu Telu belum sempurna agamanya dan perlu diberikan dakwah. Namun para penganut Wetu Telu tidak mau dianggap agamanya keliru, dan mereka memandang paham yang diyakininya sebagai warisan nenek moyangnya, dan itu adalah yang benar dan harus dipelihara. Perselisihan pun tak terhindarkan, karena perbedaan paham tersebut. Si Peneliti, ketika bertempat tinggal pada wilayah desa salah satu pihak, ia dituding oleh pihak yang lain, sebagai pendukung kelompok yang didekati itu. Sehingga kedatangannya sering dicurigai. Kehadirannya dianggap membahayakan kelompok yang lain.

Lepas dari konflik di antara dua kelompok itu, ketika si peneliti akrab dengan masyarakat, dianggap oleh mereka bisa memberikan petunjuk atau solusi atas kesulitan-kesulitan hidup yang mereka hadapi. Ia pun tidak luput dari pengaruh politik. Ketika itu, Kepala Desanya adalah tokoh Golkar, sedangkan salah seorang warga yang sering didekati kebetulan tokoh PDI, yang dengan sendirinya menjadi lawan politik Kades. Akibatnya ia juga dicurigai oleh Kepala desa tersebut, seakan menjadi kaki tangan PDI. (Budiwati, 2000: 20).

Konflik bagi si peneliti merupakan kasus tersendiri yang biasanya menjadi bagian dari lingkup penelitiannya atau pengayaan informasi. Namun menjadi sulit bagi peneliti, untuk memposisikan dirinya secara tepat. Kepada siapapun yang datang, tidak terkecuali peneliti, diharapkan untuk berpihak kepada salah satunya, dengan resiko harus ikut “melawan” pihak yang lain. Kondisi psikologis para warga pendukung adalah orang-orang yang sedang sangat emosional, sehingga trlalu mudah membenci siapapun yang tidak berpihak kepadanya, dan sebaliknya terlalu cepat menaruh harap kepada siappaun yang bersimpati kepadanya.

Dalam masalah pengumpulan data netralitas seorang peneliti, memang tidak selalu menjadi jaminan akurasi data. Tergantung pada jenis data yang ingin dikumpulkan dan siapa (subyek) yang menjadi sasaran penelitian.Seorang etnografer seperti Oscar Lewis justru membutuhkan keberpihakan secara utuh dengan apa yang sedang diperjuangkan informan. Maksudnya adalah dalam rangka menggali sebanyak mungkin informasi, si peneliti melarutkan diri perasaannya dengan perasaan informan. Dalam bukunya yang sangat terkenal, Five Families, Lewis menunjukkan pengalamannya sebagai etnografer yang melakukan obervasi, partisipasi sekaligus mengikuti pergulatan hidup dengan para informan. Margaret Mead dalam kata pengantar buku itu menyatakan. ‘Karya Lewis ini benar-benar ditulis dengan penuh gairah, yang menggabungkan syarat-syarat kecermatan yang akurat dengan suatu simpai yang sangat besar terhadap jenis penderitaan yang khusus diliputi oleh rasa iba pada diri sendiri dan orang lain”. Dalam menghimpun informasi, hampir-hampir Lewis tidak mengambil jarak dengan informan, dalam arti mengikuti perasaan-perasaan mereka, dan dengan intuisi yang terus mengalir, sehingga ada keutuhan alur cerita. Cerita-cerita itu menjadi demikian hidup, manusiawi dan membuka pikiran, yang menurut Mead, layak dianggap sebagai terobosan nyata dalam karya etnografi.

Selama penelitian, Lewis mengikuti keluarga-keluarga para informan, yang waktu itu mengalami perpindahan dari desa Tepozlan ke Mexico City. Perpindahan itu tak hanya memiliki fisikal tapi juga artifisial, yakni terjadinya pergeseran budaya, karena mereka harus meninggalkan kebiasaan lamanya dan harus berganti dengan kebiasaan baru, menyesuaikan dengan kondisi lingkungan yang baru. Peneliti mengikuti perubahan perubahan kultur yang melekat pada pergeseran tempat tinggal tersebut. Bahkan lebih tajam dari itu, menurut penulisnya sendiri, bahwa semua keluarga tersebut adalah orang-orang yang kebudayaannya “dalam masa peralihan”. Dalam arti bahwa kebudayaan lama menjadi hancur sebelum munculnya serangan gencar dari Abad teknologi, — sebuah kebudayaan material baru yang menghancurkan kebudayaan-kebudayaan non material orang –orang yang dijangkaunya, dan yang sekarang menjangkau mereka.

Dengan participant obervation, peneliti dapat menggambarkan sasaran penelitiannya secara utuh dan bulat. Sebagaimana dikemukakan Parsudi Suparlan dalam “kata pengantar” buku ini, peneliti bisa hidup di antara warga masyarakat yang ditelitinya, dengan identitasnya yang jelas, untuk mempelajari guna memahami dan turut mmenggunakan ungkapan-ungkapan kebudayaan yang mereka gunakan, dalam kehidupan sehari-hari, baik yang nampak maupun yang tersamar. Peneliti mendengar langsung ungkapan-ungkapan emosi dan perasaan, imaji serta harapan-harapan, kasih sayang dan kebencian, keberanian dan ketakutan, serta kehidupan sehari-hari, dan dengan logika yang berlaku dalam kebudayaan mereka.

7. Peneliti di tengah Cultural Schock.
Topik ini penulis angkat berdasarkan pengalaman yang ditulis oleh Dwight Y. King (1982). Seorang peneliti yang datang dari AS ke Jakarta. Ia tidak menunjukkan topik penelitiannya, kecuali hanya bercerita selama tinggal di Jakarta selama mengumpulkan data. Kebetulan selama di Jakarta, tahun 1973-1974 adalah masa krisis Indonesia dilanda krisis karena meningginya inflasi, dan antiklimaksnya adalah terjadi huru-hara peristiwa malari.

Masyarakat kota Jakarta yang sedang tumbuh menjadi metropolitan, jelas sangat berbeda dengan masyarakat desa yang lebih mencerminkan ciri tradisionalnya. Namun dalam mempersepsi orang asing (bule) kadang tidak berbeda. Peneliti yang berambut pirang, bersama keluarganya, sering mendapat perhatian berlebih dari orang-orang lain. Ada pengalaman buruk dialami, menyangkut belanja sehari-hari, yang sering diberikan harga jual tinggi oleh warga. Terpaksa King menawar berkali-kali, setidaknya menyamakan dengan harga rata-rata yang berlaku di lingkungannya. Orang-orang pribumi memiliki persepsi, bahwa orang bule itu adalah orang kaya alias banyak uangnya, sehingga dianggap akan mau membayar berapa saja harga yang ditawarkan. Padahal bekal yang dibawa peneliti, semata-mata mengandalkan biaya hidup yang disediakan sponsor, yang besarnya hanya pas-pasan untuk ukuran hidup di kota besar seperti Jakarta. Terutama untuk membayar sewa rumah, karena membawa keluarga), yang lumayan tinggi. Itu baru pengalaman kecil. Karena yang terlebih penting adalah menyangkut proses wawancara dan penyebaran kuesener. Dalam pengalamannya, informan di Jakarta tidak mudah dipegang waktunya. Mereka itu orang sibuk, sehingga tidak begitu saja bisa ditemui menurut semau waktunya peneliti. Sementara pemakaian telepon waktu itu, belum semudah sekarang. Untuk membuat janji dengan informan, kapan bisa bertemu, memerlukan waktu tersendiri, karena harus berkendaraan. Kemudian timbul problem berikutnya, karena over time, yang bukan saja harus memperpanjang ijin tinggalnya di Jakarta, tetapi juga keharusan untuk melakukan penambahan waktu pengumpulan datanya. Penambahan waktu juga berarti membengkaknya biaya hidup.

Pengalaman lain menyangkut proses wawancara, yang menurut King, ia merasa bebas membicarakan masalah-masalah sensitif berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Sebagaimana diketahjui, saat itu adalah ketika Orde Baru masih berkuasa dan sangat sensitif terhadap suara-suara miring dari warga amasyarakat. Berbicara kepada orang asing bagi warga pribumi tampaknya lebih senang dalam hal itu. Mungkin justru dianggap sebagai orang asing, maka dianggap tidak akan berakibat apa-apa kalaupun bercerita mengenai masalah-masalah yang sensitif. Kesempatan itu yang dimanfaatkan oleh King, sehinggal ia lebih sering membiarkan orang bicara mengenai sesuatu masalah secara umum, kemudian mengikuti kerangka pemikirannya dengan menggunakan terminologi mereka untuk sampai pada detail yang diperlukan peneliti. ( King, 1982: 186).

Masih dalam konteks cultural shocks, Sinha juga memiliki pengalaman ketika melakukan penelitian terhadap sebuah komunitas yang terdiri dua kelompok: Protestan-Katholik di Mapletown AS. (Surajit Sinha, 1982: 431). Melakukan penelitian dengan sasaran masyarakat modern, ada kemudahan tersendiri, terutama karena masyarakat relatif lebih terbuka. Peneliti juga memperoleh kemudahan dengan tersedianya akses-akses informasi, termasuk akses internet atau media publikasi lainnya. Cara berdiskusi dengan kalangan informan juga dirasa sangat membantu untuk menggali informasi dan tingkat pengetahuan masyarakat. Diskusi yang lazim disebut Focus Group Discussion (FGD) melibatkan kalangan berpendidikan yang menjadi sasaran.
Di Mapletown ada sejumlah intelektual lokal yang berpikir reflektif tentang struktur dan proses kehidupan komunitasnya. Mereka adalah pengkhotbah, dokter, pengacara, petani berpendidikan, guru sekolah, wartawan, dsb. Kepada mereka peneliti melakukan pendekatan secara khusus – mengikuti cara berpikir intelek atau informan berpendidikan. Peneliti menjadi terbiasa mengajak untuk menyeleksi informasi, mereka membantu berkeliling kampung dan mencoba mengikuti berbagai kegiatan komunitas
Namun perjumpaan dengan kalangan terpelajar juga rawan terhadap manipulasi informasi. Karena seseorang, yang menjadi informan, sering tidak begitu jelas membedakan antara informasi dan opini, antara pendalaman makna dengan hasil analisis oleh dirinya sendiri. Bisa terjadi justifikasi atas fakta-fakta yang dia sukai, yang kemudian diinformasikan kepada peneliti. Di sinilah pentingnya re check and cross check; sesuatu informasi perlu diverifikasi melalui dialog dengan pihak lain.

8. Masalah Etika dalam Penelitian Antropologi.
Di dalam pengalaman penelitian, ada kalanya seorang etnografer menghadapi sesuatu yang dianggap tabu untuk diinformasikan. Padahal informasinya sangat diperlukan oleh peneliti. Masalah ini diangkat dalam tulisan Joseph G. Jorgensen, dalam “On Ethics and Anthropology”. Ia menguraikan pengalamannya berada di dalam masyarakat Eastern Pueblo Indian. Warga masyarakat di sana paling tidak mau menceritakan soal-soal yang berkaitan dengan mite dan ritual, karena menyangkut kepemilikan harta yang tidak dapat diganggu gugat, serta tidak mau mendengar uangkapan critical sekalipun untuk kebaikan komunitasnya. Sikap protektif itu adalah sebagai bagian dari defens mechanism. Mereka merasa mendapat mandat dari para leluhur untuk menyelamatkan dan mengamankan harta benda warisannya, antara lain dengan tidak mudah memberi informasi. Menjadi informan baginya tidak merasa diuntungkan atau tidak tahu untuk apa memberi informasi menganai hal itu.

Pada masyarakat barriade di Lima atau Callampa di Santiago, terkenal sangat protektif menginformasikan tentang sumber dan penghitungan pendapatannya. Mereka juga sangat tertutup untuk menginformasikan sikap politiknya. Karena tidak tahu atau tidak yakin, apakah dengan menginformasikan itu justru akan membuka rahasia yang sama sekali tidak memberi manfaat apa-apa. Pada masyarakat Campa yang dijululuki “bit man”, kemungkinan dianggap melanggar aturan karena anda bicara dengan seorang saudara muda, sebelum anda berbicara dengan saudara tuanya. Hal ini dianggap merendahkan status dan prestise dalam masyarakatnya. Bisa-bisa malah peneliti menjadi terancam karenanya.

Kita semua memerlukan kerjasama memperoleh informasi yang lengkap sesuai yang kita kehendaki dalam penelitian. Kita mengharapkan sesuatu dengan mengikuti tertib sosial yang ada, dan mencoba menoleh ke belakang untuk tidak tergesa-gesa menyampaikan maksud dan tujuan, Sambil kita menguji kebersihan nurani, atau menguji apakah kita akan bisa dipercaya, dan seterusnya. Namun pada kesempatan yang lain kita, sebagai manusia pada umumnya, juga berharap untuk merahasiakan sesuatu yang menjadi milik kita. Namun menjadi kenyataan, bahwa kita sedang membutuhkan sesuatu kepada orang lain, sehingga kita seakan hendak menekan mereka; agar bisa menyampaikan informasi itu. Tapi lebih baik untuk tidak negetahui atau mendiskusikan; selagi fakta-fakta, pikiran-pikiran, situasi, dan seterusnya, terlalu sumir untuk diketahui. Dan kita yakin bahwa kita memang tidak paham.
Dalam banyak kasus di mana sesuatu hal itu disukai, entah yang berhubungan dengan waktu, keadaanm makna-makna atas, dan fakta-fakta lain tentang kehidupan kita, sikap kita, kepercayaan, perilaku dan opini, ternyata tidak selalu bisa diinformasikan kepada orang lain. .

Setiap orang mengklaim memiliki privacy, di lain pihak peneliti mengharap banyak informasi, namun kenyataannya pada sementara warga yang diteliti terlalu ketat menjaga diri untuk merahasiakan informasi. Ini menjadi problem yang berhubungan dengan masalah ethika sebagai seorang peneliti.

Sebagai peneliti, kita ingin terpenuhi hak-hak kita untuk memperoleh informasi secara lengkap dan akurat. Sementara kita memang harus respek terhadap hal-hal yang menyangkut privacy. Untuk itu, informasi dari hasil wawancara, dalam hal seperti ini, sebaiknya tidak kita gunakan untuk keperluan lain selain kepentingan akademis. Peneliti di lapangan, jangan selalu menganggap subyek itu pasif.. Peneliti harus juga siap diteliti oleh subyek, siap dimintai keterangan kalau diperlukan oleh subyek. Seorang partisipan yang mendiskripsikan sendiri informasinya, seharusnya tidak berbuat licik atau menyesatkan. Dalam hal observasi langsung, sebaiknya tahu bahwa dia sedang mengobservasi dan sebaiknya dia juga bersedia untuk diobservasi juga. Ketika kita mengumpulkan diskripsi salah seseorang dari seseorang lain atau dari menulis rekaman, kita sebaiknya tidak menawarkan untuk menyogok buat memperoleh informasi yang akan mengarahkan kepada pelanggaran kepercayaan atau kerahasiaan. Kita seharusnya mengajak atau mempertanyakan kita sendiri apakah informasi yang didapat akan layak diberikan kepada informan atau tidak. Peneliti memang sangat mudah untuk memainkan peran antagonis memperlawankan satu dengan lainnya dalam penyelidikan kita untuk hal-hal privacy.

Bagaimana pun cara yang ditempuh untuk mengumpulkan informasi, jangan sampai justru akan mempersulit peneliti. Cara mengatasi, bisa dengan mencari hubungan dan keterkaitan fakta yang ada dengan orang atau pihak lain. Baranagkali bisa membantu memperoleh pengetahuan tentang sesuatu yang ingin dicari. Namun masalahnya, apa yang harus dilakukan kalau harus tetap menjaga sesuatu yang dianggap “privacy”. Boleh juga, si peneliti mencoba mengalihkan perhatian kepada hal lain, yang membuat informan menyukai peneliti, dan tidak lagi terlalu merahasiakan sesuatu yang dibutuhkan. Namun boleh jadi pula, apabila tema-nya dianggap serius, dan menyulitkan, faktor ini juga bisa menjadi pertimbangan untuk menggeser tema penelitian, agar tujuan penelitiabn tetap bisa dicapai.

Masih soal etika dalam peneliti lapangan. Kali ini yang dihadapi bukan masalah hubunagn antar individu, atau antara peneliti dengan informan. Tetapi sasaran penelitian secara keseluruhan, yang harus disamarkan namanya, kalau tidak malah ditutupi. Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan dari kemungkinan adanya kesalahpahaman masyarakat sebagai akibat penyebutan nama secara langsung subyek penelitian.

Penelitian yang dilakukan Clifford Geertz di Jawa yang menghasilkan buku The Religion of Java (1960), tidak menyebutkan sama sekali identitas subyek. Nama desa tempat Geertz tinggal selama masa penelitian, disebutkan dengan nama desa Mojokuto. Padahal nama itu tidak dikenal dalam wilayah administrtaif di Jawa, khususnya Jawa Timur, dan lebih khusus adalah di Kabupaten Kediri. Karena nama kabupaten ini yang banyak disebut dalam tulisan-tulisan Geertz, yang bisa diartikan bahwa Mojokuto tempat yang disebut-sebut Geertz tersebut bukan nama yang sebenarnya.

Kerahasiaan berlanjut dalam penyebutan nama-nama informan, seperti para modin, kepala desa, pemuda desa, pemuka agama, dan sebagainya, semua tidak satupun disebut nama diri. Penyebutan hanya pada kedudukannya atau status, atau fungsi yang melekat di tengah masyarakatnya. Dengan merahasiakan nama-nama tersebut, peneliti bertujuan memproteksi atau sebagai penghargaan nama mereka, agar tidak membawa dampak tertentu kepadanya, ketika hasil penelitian dipublikasi.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Oscar Lewis, dengan buku hasil penelitian brjudul: Five Families, Mexican Case Studies ing the Culture of Poverty (1959). Buku yang telah diindonesiakan dengan Kisah Lima keluarga (1988) tersebut menyamarkan nama-nama para pemberi informasi, terutama kelima orang yang dikisahkan tersebut. Sebagaimana dikemukakan Parsudi Suparlan dalam Kata Pengantarnya, tujuan perahasiaan itu adalah untuk melindungi nama baik dan kehormatan para informan. Yang demikian itu sesuai dengan kode etik antropologi dan ilmu-ilmu sosial pada umumnya (Suparlan, 1988). Maksud merahasiakan nama informan, bagi si peneliti juga untuk membebaskan diri dari ikatan-ikatan bathin atau kepentingan tertentu pihak informan, sehingga dengan demikian peneliti berkeleluasaan dalam mendiskripsi dan analisis fakta.

Lepas dari soal perlindungan nama baik informan atau kepentingan pihak informan sekalipun, perahasiaan identitas subyek bisa membuka peluang terjadinya manipulasi informasi. Ketika suatu informasi yang dituangkan sebagai hasil penelitian, ternyata berbeda, kalau bukan berlawanan dengan informasi yang sebenarnya disampaikan informan yang bersangkutan, maka menjadi sulit dilakukan verifikasi.. Konfirmasi data dan informasi memamng menjadi sulit dilakukan oleh orang lain, selain si peneliti sendiri, karena hanya ia yang tahu identitas secara jelas atas subyek-subyek penelitiannya. Sementara sebuah kejujuran telah menjadi bagian yang sangat penting dalam dunia ilmu pengetahuan, yakni kejujuran atas fakta, dan tentu saja termasuk kejujuran dalam mengungkap sumber informasinya. Masalahnya akan menjadi rumit apabila yang terjadi adalah misalnya ada tuntutan yuridis pihak informan, karena ada informasi yang menurutnya tidak benar atau dimanipulasi oleh peneliti. Pengandaian ini barangkalai dianggap terlalu jauh, tetapi bukan sesuatu yang tidak mungkin terjadi.

Bagaimana pun ada dilema yang dihadapi peneliti, yakni antara keharusan menjaga kehormatan dan nama baik informan dengan keharusan berlaku jujur pada sumber data. Kembalinya bukan dengan memperketat kode etik penelitian, tetapi justru bagaimana melonggarkan kode etik tersebut, kalau hal itu dianggap ada. Kejujuran menjadi kata kunci, meskipun hal itu adalah sangat subyektif. Hasil penelitian adalah hasil penelitian itu sendiri, dan bukan pertanggungajawaban moral pribadi si peneliti. Karena sudut pandangan informan dan sudut pandang keilmuan, adalah dua dunia yang memang berbeda. Namun ada etika dan moralitas yang menjembatani di antara keduanya.

9. Peneliti Menghadapi Proteksi Politik.
Studi kebudayaan di negeri “orang lain” yang berebda sistem politiknya, merupakan tantangan tersendiri. Terutama pada suatu negara yang memberlakukan sistem proteksi yang sangat ketat, sehingga mempersulit bagi masuknya orang luar yang ingin masuk ke negaranya, untuk melakukan penelitian. Cina, yang dikenal sebagai negara penganut sistem komunias waktu itu, adalah negara paling protektif terhadap akses-akses keluar. Tembok Cina yang dibangun pada abad 16 itu seakan simbol kekuatan bangsa Cina nan tak tergoyahkan, dan menjadi aktraktif sebagai simbol kekuatan pemerintah yang begitu kuat dengan Marxisme-Leninisme-Maoisme. Pada bagian lain, yakni kerajaan Arab Saudi, menerapkan sistem proteksi yang sangat ketat, khususnya untuk masuknya orang non Muslim ke kota suci Mekah.

Adalah John Bryan Starr dengan bukunya: Ideology and Culture: An introduction to the dialectic of contemporary Chinese politics (1973), yang membongkar fakta sejarah di mana teori-teori materialisme kebudayaan oleh Marx telah sekian lama diartikulasi ke dalam dunia politik dan terjadi ideologisasi di daratan Cina. Dalam bab pertama buku tersebut, Starr mengurai bagaimana ia menembus liku-liku membuka pintu-pintu informasi mengenai realitas politik di Cina. Sebagai ilmuwan yang dituntut obyektivitasnya, tidak mudah baginya menghimpun informasi. Untuk menggali informasi dari kalangan rakyat biasa, hampir tidak mungkin. Mayoritas warga adalah kaum yang suka dan begitu fanatik dengan idiologi Marxis-Leninis dan Mao Tsetung. Cara membuat agar orang Cina mau berterus terang menginformasikan sikap dan pandangan politiknya hampir mustahil dapat dilakukan. Karena ketatnya pengawasan penguasa terhadap rakyatnya. Orang-orang yang datang ke Cina, termasuk si peneliti, tidak begitu saja dibolehkan memasuki komunitas dalam wilayah negaranya. Sebagaimana diketahui, penelitian ini dilakukan ketika kekuatan komunis pada pemerintah Cina belum cair seperti sekarang. Dominasi kekuatan Partai Komunis cukup kuat: mengontrol media massa, termauk televisi dan siaran radio.

Dalam penjajagannya mengenai kehidupan politik Cina, peneliti menggali pengetahuan dari siaran radio Cina, dan surat kabar terbitan Cina, sejauh yang bisa diakses di luar negeri. Sumber kedua, adalah dengan menginterview para pelarian atau pengungsi Cina, khususnya yang berada di Hongkong. Sumber berikutnya adalah juga pengungsi atau mahasiswa Cina yang sedang studi di AS. Dan terakhir, peneliti menggunakan visa sebagai jurnalis Amerika yang berkunjung ke Cina. Cara ini dilakukan karena pemerintah Cina tidak mengijinkan peneliti asing masuk ke negaranya. Terakhir sumber informasi adalah dari brosur yang disebarkan oleh kelompok bawah tanah (clandestine) Cina, yang sejak lama beroposisi hendak menggulingkan pemerintah. Kelompok ini sering menerbitkan selebaran atau brosur untuk dipublikasi kepada para pengungsi di luar negeri. (Starr,1973: 2).

Penelitian antropologi terhadap kehidupan politik di suatu negara yang berideologi komunis, ternyata mengandung resiko besar. Karena ketika ia harus obyektif dan jujur dalam penghimpunan informasi, sama saja dengan bunuh diri. Hingga ia menempuh berbagai cara, termasuk menempuh prosedur ilegal. Melalui jalan legal akan dianggap membongkar rahasia negara, yang ancamannya adalah dimasukkan ke kamp-kamp konsentrasi, kalau bukan dihukum bunuh.

Dengan suatu tujuan yang berbeda, prtoteksi yang sangat ketat, juga diberlakukan oleh pemerintah Saudi Arabia. Pengalaman menembus ketatnya proteksi itu pernah dilakukan oleh etnografer asal Belanda, Snouk Horgronje. Salah satu karyanya berjudul: Perayaan Mekah, termuat dalam serial INIS, (1989), yang telah diindonesiakan menjadi setebal 115 halaman tersebut diatulis pada akhir abad 18. Masa di mana kajian-kajian etnografi, khususnya mengenai bangsa-banga Asia masih sangat langka. Tapi Snouck, yang lebih dikenal sebagai non Mslim itu, dengan keberaniannya ia memasuki wilayah bangsa Muslim, dan seperti dketahui, ada aturan di Arab, bahwa kota Mekah hanya diperuntukkan orang Muslim. Artinya, orang non Muslim dilarang masuk ke kota suci tersebut. Cultural split tentu merupakan tantangan tersendiri bagi Snouck. Karena ia hampir pasti memanipulisi identitas keagamaannya. Lepas dari itu semua, ia menyempatkan pergi “berhaji” ke Makah untuk menelusiri jejak-jekak atau akar filosofi kehidupan bangsa Muslim Indonesia. Ia mengurai sejarah dan latarbelakang, kenapa umat Islam berkumpul setahun sekali, hanya untuk berbondong-bondong melakukan gerakan mengitari batu besar bernama Ka’bah. Ia mempelajari siapa Muhammad, sang tokoh pembuat sejarah, yang telah sanggup menggerakkan komunitas besar bernama dunia Islam, termasuk Muslim Indonesia. Diskripsi panjang oleh Snouck menggambarkan proses-proses kultural yang terjadi, yang antara lain dibentuk melalui perayaan haji ini, sehingga dunia Islam memperoleh kekuatan sejati. Tak pelak adanya topangan keyakinan atas kesejatian misi yang dibawa Muhammad, dan mitos-mitos yang menyertai ritual haji, telah diartikulasi dalam perjalanan panjang peradaban Islam. Para ahli boleh berbeda pendapat mengenai masalah akurasi data, sistematika penulisan atau diskusi yang lebih mendasar mengenai teori etnografi untuk menyimak peninggalan Snouck. Bahkan orang boleh mengumpat atau berdebat mengenai isu “Snouck masuk Islam atau berpura-pura masuk Islam”. Bagaimana pun itu adalah perjalanan membangun metodologi etnografi yang patut diberikan tempat tersendiri. Boleh jadi ia melanggar etika atas penyamarannya itu, seandainya benar, dan yang lebih keparat lagi, adalah tuduhan yang ditimpakan kepada Snouck, sebagai kaki tangan bangsa penjajah, sehingg apa-apa yang ditulisnya adalah hanya untuk masukan pemerintah Hindia Belanda untuk memperkuat wilayah jajahannya. Tapi karya-karya Snouck yang berjumlah ribuan halaman tentu, tak diingkari punya nilai luar biasa bagi kajian tentang Indonesia pada umumnya dan tentang Islam khususnya di di Asia tenggara.

Kondisi seperti itu pernah juga terjadi di Indonesia, ketika rezim orde baru berkuasa. Para peneliti asing cenderung dilihat dengan kacama kepentingan politik. Pemerintah Soeharto tidak ingin ada peneliti asing yang menulis tentang Indonesia tanpa seijin resmi pemerintahnya. Dimaksud dengan “ijin” di sini adalah memberikan keleluasaan melakukan penelitian selagi tidak merugikan kekuasaan. Obyektivitas dalam penelitian, sering diidentikan mengkritisi sepakterjang pemerintah Soeharto. Dan itu sama dengan menggerogoti kekuasannya.

10. Masalah Bahasa dan Komunikasi dalam penelitian Lapangan.
Dalam pertunjukan kesenian wayang kulit pada masyarakat Jawa, peranan dalang adalah menduduki tempat yang sentral. Studi antropologi yang dilakukan Groenendael (1987) ini memusatkan perhatian pada peran sang dalang. ia adalah bagian dari masyarakat Jawa yang kebetulan memiliki ketrampilkan memainkan pentas pewayangan tersebut. Ia adalah orangnya yang sangat halus bertutur kata dan sangat menguasai semua tingkatan dalam bahasa Jawa, seperti bahasa rakyat biasa, bahasa ngoko dan bahasa kromoinggil. Namun ia bukanlah golongan ningrat, atau keturunan bangsawan. Walau harus diakui, bahwa ada dalang yang khusus mendalang (mementaskan kesenian wayang) untuk kalangan keluarga kerajaan.
Dalam penelitiannya, Groenendael mengamati mengenai riwayat hidup masing-masing dalang yang ada di tengah masyarakat Jogya dan Surakarta. Karena di kedua kota ini, menurut hemat peneliti, menjadi pusatnya kebudayaan Jawa. Di dalam “Kata pengantar”mya, ia mengurai panjang lebar mengenai pengalaman kerja lapangannya. Di antara yang sangat spektakuler, adalah kesiapan bahasa. Penelitiannya sendiri merupakan desertasi doktornya pada Vrije Universiteid di Leiden. Sebagai orang Belanda, yang hendak terjun ke negara lain, Indonesia, ia mempersiapkan diri kursus bahasa Indonesia. Dan sebagai orang asing pula, yang hendak menelitu kebudayaan lokal (Jawa), ia pun membekali diri dengan kemampuan berbahasa Jawa. Kedua bahasa “asing” itu, terutama bahasa Jawa, bukan sesuatu yang mudah untuk dikuasai.

Orang asing biasanya kesulitan dalam menguasai bahasa tersebut. Karena bahasa yang harus diukasi tidak sekedar alat komunikasi, tetapi sebagai alat (simbol) untuk memahami kedalaman budaya yang sedang dikaji. Sebagaimana diketahui, bahasa Jawa adalah bertingkat-tingkat, sebagaimana disebutkan di atas. Sehingga memutuskan untuk meneliti kehidupan sang dalang, terlebih bagi orang asing, seakan memutuskan untuk menaiki sebuah gunung oleh orang yang bukan pecinta alam. Ini menyangkut masalah strategi pengumpulan data lapangan, yang dilalui si peneliti Belanda. Pertama-tama ia datang ke ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) di Solo, untuk memperkenalkan diri. Kemudian dari sini, atas bantuan Direktur ASKI, ia minta bantuan tenaga mahasiswa. Sebanyak 6 orang mahasiswa jurusan karawitam berhasil direkrut untuk membantu, terutama mewawancarai para dalang di Solo dan Yogyakarya, termasuk dalang Istana (kraton). Nama-nama para pembantu lapangan tersebut, ia uraikan riawayat hidupnya di bagian awal buku ini, termasuk sang direktur ASKI, bukan sekedar untuk diberi ucapan terimakasih, tetapi sebagai pertanggungjawaban keilmuan. Karena sebuah pengutaraan pengalaman lapangan, dan yang sekaligus memperlihatkan “wajah” para pembantu lapangan, bagaimana suka dan dukanya, akan dapat membantu memahami paparan-paparan hasil penelitian tersebut. Bahkan membantu konfirmasi-konfirmasi informasi dan pengembangan teori yang ditemukan.

Simpulan
Tidak mudah untuk menemukan isu-isu praktis menyangkut metodologi penelitian dalam karya-karya etnografi. Sebagaimana hasil refiew sejumlah karya etnografi yang penulis lakukan, isu-isu itu tidak selalu terungkap dengan jelas. Sebagian besar tidak mengemukan refleksi dari pengalaman lapangannya. Padahal pengungkapan seperti itu, mestinya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan karya tulisnya itu sendiri, sebagai pertanggungjawaban ilmiah. Dengan mengemukakan pengalamannya dalam kerja lapangan, akan bisa disintesakan seberapa besar ketepatan metodologi yang dirancang dalam rencana kerjanya. Sebab hampir tidak mungkin, seseorang peneliti etnografi, yang sejak awal memang harus berlama-lama di lapangan, kemudian tidak mengalami kesulitan. Dan menjelaskan kesulitan yang dihadapi tersebut, bukanlah suatu “aib” dari segi metodologis, sepanjang diikuti dengan penjelasan mengenai langkah-langkah taktis atau akselerasi yang memadai dalam pengumpulan data.
Metyodologi yang pada awal diuraikan

Pada sebagian etnografer, ditemukan adanya semacam refelski, dengan mengurakan mengenai proses dan pengelaman selama penelitian. Tulisan itu dituangkan dalam makalah tersendiri dan diterbitkan pada kesempatan lain di luar karya etnografisnya. Buku Koentjaraningrat dan Donald K. Emerson (ed.), (1982), Aspek Manusia dan Penelitian Masyarakat, adalah satu contoh buku yang mengkhususkan penulisan pengalaman penelitian oleh sejumlah etnografer, seperti James Danandjaja, Hanna Papanek, Anton A. Lucas, Clifford Geertz, dan sebagainya. Pada awal pengkajian, saya menemukan sejumlah artikel yang termuat dalam buku: Johnnetta B. Cole Anthropology for the Eighties (ed.), (1982), yang di dalamnya banyak ditemui isu-isu praktis metodologis, yang ditulis oleh para etnografer. Di antaranya adalah: Cole, Johnnetta B. The Practice and Ethics Fieldwork, merupakan bahasan tulisan Paul Bohannan, (1963), Social Antropology; Holt, Rienhart and Winston, Charles A. Valentine, Fieldwork in the Ghetto. Tulisan ini mengungkap pengalamannya sebagai participant – observer, tentang kehidupan sehari-hari kaum minoritas urban (slum) yang sangat berbeda dengan penduduk Lugbara, Uganda; John Middleton, The End of Fieldwork. Menguraikan pengalaman lapangannya ketika berada di Lugbara Uganda. Ia mendiskripsikan pandangannya, perasaannya, tehnik-tehnik penelitian yang digunakan dan posisinya di dalam komunitas dan bagaimana ia mengikuti perkembangannya sampai over time; Joan Ablon, Field Method in Working with Class, menguraikan pengalamannya sebagai anthropolog, yang melakukan kajian terhadap klas menengah Amerika berhadapan dengan keunikan seseorang dan dilema profesi yang menyatukan diri sebagai insider dan sekaligus outsider dalam satu kultur; Joseph, On Ethics and Anthropology., menguraikan pengalaman ketika di dalam negerinya dan di luar negeri, sebagai anthropolog harus mempertimbangkan dan meredakan pengaruh yang mengganggu dan laporan yang dipublikasi di dalam masyarakat yang dia kaji.
Karya-karya etnografi yang sengaja tidak menuangkan masalah-masalah metodologis, kemungkinan berasalsan bahwa hal itu bukan hal yang substansial dalam penualisan, atau karena penulisan itu memerlukan perenuangan tersendiri, yang membutuhkan waktu pasca usainya penelitian. Penulis besar seperti Snouck Hurgronje , Juyonboll, Drewes, yang aktif menulis tentang Indonesia pada abad 18-19, termasuk di antara yang tidak menyertakan uraian mengenai bagaimana proses penelitian itu mereka lalui. Penulis lain adalah seperti Jan Boelaars (1986), Manusia Irian (1886), dan B. Bolland (1985), Pergumulan Islam di Indonesia. Dari ke 50 karya etnografi yang saya review, tidak ada 10 tulisan yang mengurai pengalaman peneliti selkama di lapangan.

Dari paparan practical issues di atas, penulis mencoba mengambil beberapa simpulan, bahwa proses penelitan lapangan, tidak selalu sesuai dengan yang direncanakan. Banyak kendala dan tantangan selama di lapangan.
1. Masalah membangun rapport, yang merupakan pintu utama dan pertama dalam kerja lapangan. Ada yang mengaku kegagalan, dan ada yang sekedar mengalami kesulitan. Kemudian beberapa cara ditempuh untuk mengatasinya.
2. Masalah kesulitan bahasa. Bagi seorang peneliti, faktor bahasa menjadi sangat urgen. Sebagai alat komunikasi, faktor bahasa bisa merusak hasil penelitian, karena ada kesalahan pemahaman oleh informan ketika diajukan pertanyaan. Sebagai bahasa budaya, kadang salah mengartikan sesuatu dari apa yang dihasilkan dari lapangan, semata-mata karena ungkapan itu diterjemahkan dalam bahasa peneliti, yang berbeda budayanya.
3. Masalah psikis seorang peneliti. Ketika menghadapi situasi yang terasa tidak mengenakkan. Penyebabnya, ada yang dari luar drinya, di antaranya karena sikap masyarakat yang curiga, tidak mau diwawancara karena sibuk dan cuek (ignore). Penyebab dari dalam, adalah peneliti merasa tidak siap secara mental, menghadapi kenyataan yang dihadapi, sehingga terasa jenuh atau bosan.
4. Masalah yang bersifat tantangan, adalah yang meyangkut proteksi politik. Disebut tantangan, karena apa yang seharusnya dilakukan oleh peneliti, hampir mustahil bisa dilakukan. Penyebabnya adalah karena proteksi politik, yang jelas melarang orang asing memasuki wilayah negaranya. Tantangan seperti itu ternyata bukan alasan untuk mengendurkan peneliti untuk tetap melanjutkan pekerjaannya. Cara yang ditempuh adalah dengan melakukan penyamaran, pengelabuhan bahkan menipulasi identitas.
5. Ada kompleksitas masyarakat, yang tidak mudah diduga, sehingga seorang peneliti harus bergegas membelokkan aspek metodologisnya. Bukan hal yang luar biasa, ketika seorang peneliti harus merubah “pertanyaan penelitian” ketika di tengah proses pengumpulan data, atau bahkan merubah judul penelitiannya. Semata-mata karena adanya sesuatu yang baru atau sesuatu yang lebih menarik untuk diperdalam, dan sebagainya.
6. Subyektivitas selalu menemani obyektivitas dalam penelitan lapangan. Yang pertama adalah karena aspek manusia, dengan segala aspek kepribadian dan kejiawaannya yang harus bertemu dengan sama manusia (informan), sehingga harus melunakkan diri, atau sementara tidak mengambil jarak. Sementarea pada sepk kedua, seorang peneliti harus mengambil jarak, untuk bisa melakukan klasifikasi-klasifikasi dan kategorisasi atas informasi secara obyektif. Secara metodologis, hal ini menyankut ranah etik dan emik. Subyektivitas lebih banyak diartikan menonjolkan faktor emik, agar data yang terkumpulkan benar-beanr lugas. Dan dalam melakukan kategorisasi menonjol faktor etik, karena untuk kepentingan analisis. Dst.
7. Masalah perlu dan tidaknya menuangkan “reffeksi atas pengalaman lapangannya”, bolehlah menjadi perdebatan. Tapi menurut hemat penulism hal sangat diperlu, sebagai bagian dari pertanggungajawaban proses yang dilalui dalam penulisan karya etnografis itu.

DAFTAR PUSTAKA

1. Budiwanti, Dr. Erni, (2000), Islam Sasak, LkiS, Yogyakarta.
2. Babcock, Tim G., Kampung Jawa Tondano: Religiom and Cultural Identity, 1989, Gadjah Mada Univ. Press.
3. Dijk, C. van, “Survai Ringkas Kajian Indonesia Indonesia di negeri Belanda”, dalam: Stokhof, W.A.I. dan N.J.G. Kaptein (ed.), 1990, Beberapa Kajian Indonesia dan Islam, Seri INIS Jilid VI, Jakarta
4. Geertz, Clifford, (1973), The Interpretation of Cultures, Basic Books, Inc, Publishers, New York.
5. Cole, Johnnetta B, (1982), Anthropology for the Eighties, The Free Press, New York.
6. Groenandael, Victoria M. Clara van, 1987, Dalang di balik Wayang (judul asli: The Dalang behind the Wayang – The Role of the Surakarta and the Yogyakarta dalang in Indonesian – Javanese Society), Pustaka Utama Grafiti.
7. Ihromi, T.O., Paradigma Baru bagi Pengkajian Masalah Wanita dan Jender dalam Antropologi, Antropologi Indonesia, No. 60 Tahun XXIII, Agustus-Oktober 1999.
8. King, Dwight Y., “Masalah Pengolahan Data yang Berguna Bagi Pemerintah di Jakarta”, dalam: Koentjaraningrat dan Donald K. Emmerson (Editor), (1982) Aspek manusia dalam Penelitian Masyarakat, PT. Gramedia
9. Koentjaraningrat dan Donald K. Emmerson (Editor), (1982) Aspek manusia dalam Penelitian Masyarakat, PT. Gramedia.
10. Koentjaraningrat, “Pengamatan Terlibat oleh Seorang peneliti Pribumi dan Asing”, dalam: Koentjaraningrat dan Donald K. Emmerson (Editor), (1982) Aspek manusia dalam Penelitian Masyarakat, PT. Gramedia.
11. Maliki, Zainuddin, 2004, Agama Priyayi: Makna Agama di tangan Elite Penguasa, Pustaka Marwa.
12. Mulder, Niels, 1997, Everay life in the Philippines: Interpretation of everiday life, Quezon City: New Delhi Publisher
13. Middleton, John, (1982),“The End of Fieldwork, dalam Johnnetta B. Cole Anthropology for the Eighties, The Free Press, New York.
14. Lewis, Oscar, Five Families (1950) (terj. Kisah lima Keluarga), 1988, Ys. Obor Indonesia.
15. Reinharz, Shulamit, 2005, Metode-metode Feminis dalam Penelitian Sosial, Women Research Institute (copyright 1992 by Oxford University Press inc.).
16. Sinha, Surajit, “Religion in an Affluent Society”, dalam: Cole, Johnnetta B, (1982), Anthropology for the Eighties, The Free Press, New York
17. Spreadly, James P, David W.McCurdy, (1990), Conformity and Conflct, Reading in Cultural Anthropology, Scott, Foremasn and Company, USA.
18. Suparlan, Parsudi, 1988, “Kata Pengantar untuk edisi Indonesia”, Kisah Lima Keluarga; Telaah-telaah Kasus Orang Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan, 1988, Ys. Obor Indonesia.
19. _____________________, “Culture and Ethnography”, dalam Spreadly, James P, David W.McCurdy, (1990), Conformity and Conflct, Reading in Cultural Anthropology, Scott, Foresman and Company, USA.
20. _____________________, “Culture and the Contemporary World”, dalam Spreadly, James P, David W.McCurdy, (1990), Conformity and Conflct, Reading in Cultural Anthropology, Scott, Foresman and Company, USA.
21. Hurgronje, Christiaan, Snouck, 1989, Perayaan Mekah, ( terj. Supardi), Seri INIS Jilid V, Jakarta.
22. Spreadly, James P, David W.McCurdy, (1990), “Culture and Ethnography”, dalam Spreadly, James P, David W.McCurdy, (1990), Conformity and Conflct, Reading in Cultural Anthropology, Scott, Foresman and Company, USA.
23. Starr, John Bryan, 1973, Ideology and Culture: An Introduction to the Dialectic of Contemporary Chinese Politics, Harper & Rowm Publication, Inc, New York.

2 replies to “KRUSIALITAS DALAM PENELITIAN ANTROPOLOGI

  1. daearah saya ada kuburan sangat banyak yang sekaran di tutupi dengan kebung petani dengan asal usul seJarah yg belu Jelas hal itu di butuhkan penelitian dan tempatnya biasa menggali dan mendapatkan berupa barang barang peninggalan dulu seperti piring besar dan lain lain

    1. Informasi yang sangat berharga, terutama untuk penelitian khazanah. Itu di mana tempatnya. Bisakah tulis alamat jelas.
      Terimakasih atas kunjungan Anda,

Tinggalkan Balasan ke Prof. DR. Marzani Anwar Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

close-alt close collapse comment ellipsis expand gallery heart lock menu next pinned previous reply search share star